Pengaruh Kompensasi, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, Mutasi, dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kinerja berasal dari kata job performance atau
actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2009). Kelancaran
tugas pekerjaan dan kesuksesan suatu instansi dapat tercapai dengan
memuaskan apabila para pelaksana dan pemimpin memiliki motivasi kerja dan
kemampuan kerja yang memadai. Hal ini menandakan bahwa faktor Sumber Daya
Manusia (SDM) merupakan unsur penting dan turut menentukan berhasil atau
gagalnya sebuah organisasi. Oleh karenanya, instansi akan meraih sukses dan mampu
bersaing apabila didukung manajemen dan sumber daya manusia yang berkualitas
(Taryanti, 2010).
Salah
satu indikator SDM yang berkualitas dapat dilihat dari kinerja pegawai yang
ditunjukkan dari perilaku kerja efektif, efisien, produktif, serta memiliki
integritas tinggi. Deskripsi dari kinerja itu sendiri menyangkut tiga komponen
penting yaitu tujuan, ukuran dan penilaian kinerja. Penentuan tujuan dari
setiap unit organisasi, baik itu pemerintah atau swasta merupakan strategi untuk
peningkatan kinerja.
Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana
seharusnya perilaku kerja pegawai yang diharapkan organisasi terhadap setiap
pegawai. Walaupun demikian penentuan tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu
dibutuhkan ukuran apakah seseorang pegawai telah mencapai kinerja yang
diharapkan (Jauhariah, 2014). Untuk menghadapi tantangan dalam era globalisasi
saat ini, pemerintah juga melakukan pembenahan, penyempurnaan serta peningkatan
kualitas kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik pembenahan dari sisi
kelembagaan maupun perilaku aparaturnya sendiri. Perbaikan kinerja birokrasi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan mempengaruhi kinerja pegawai
secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing PNS dalam suatu negara.
Salah satu caranya yaitu dengan mewajibkan setiap PNS menyusun Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP) setiap tahun.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 46 tahun 2011 tentang penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil,
penilaian kinerja PNS tersebut terdiri dari dua unsur yaitu SKP dan perilaku
kerja. SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam
kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. Penilaian SKP ini
paling sedikit meliputi aspek kuantitas, kualitas, dan waktu sesuai
karateristik, sifat, dan jenis kegiatan pada masing – masing unit kerja.
Sedangkan perilaku kerja merupakan setiap tingkah laku, sikap atau tindakan
yang dilakukan oleh seorang PNS yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Adapun
unsur perilaku kerja meliputi orientasi pelayanan, integritas, komitmen,
disiplin, kerja sama, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia
sebagai salah satu lembaga negara yang memiliki ribuan PNS, telah
mengimplementasikan sistem penilaian kinerja pegawai tersebut sejak tahun 2014.
Setiap tahun para pegawai dievaluasi kinerjanya, tidak hanya pegawai pada
bagian fungsional, tetapi juga pada bagian struktural. Diharapkan dengan
evaluasi tersebut, kinerja pegawai menjadi lebih baik sehingga dapat
meningkatkan kinerja BPK secara keseluruhan.
Dikutip dari laman menpan.go.id Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen-PANRB) sejak tahun
2010, secara rutin telah melakukan evaluasi terhadap seluruh
kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi. Proses evaluasi dilakukan dengan
melihat seluruh aspek yang terkait dengan penerapan manajemen kinerja di
instansi pemerintah sehingga mampu membangun etos kerja pemerintah yang
berorientasi pada hasil yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagai bentuk
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Pada tahun 2015 lalu, ada empat
kementerian/lembaga dan dua pemerintah provinsi yang memperoleh predikat
memuaskan dengan nilai di atas 80, salah satunya adalah BPK. Hal ini
membuktikan bahwa kinerja BPK sebagai sebuah institusi maupun individu pegawai
menurut Kemen-PANRB sudah baik, meskipun tetap harus ada perbaikan setiap
tahunnya. Hasil audit akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga tahun 2015
selengkapnya dapat dilihat pada 1957 dengan tujuan mempromosikan penggunaan
energi nuklir secara damai dan menangkal penggunaannya untuk keperluan militer.
Selain itu, BPK juga dipercaya sebagai auditor badan anti korupsi internasional
International Anti Corruption Academy (IACA) bersama dengan
Austria dan Rusia.
Dimana secara khusus IACA memberikan kepercayaan
kepada BPK sebagai ketua tim pemeriksa. Dengan berbagai pengakuan akan kinerja
BPK tersebut, kinerja dan kompetensi pegawai yang dimiliki BPK harus sangat
diperhatikan. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi BPK akan semakin
besar. Salah satu unsur penting dari kompetensi seorang pegawai adalah tingkat
pendidikan yang telah diraihnya. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan
sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian
manusia. Pendidikan dalam suatu organisasi sebagai upaya untuk mengembangkan
sumber daya manusia adalah suatu siklus yang harus terjadi terus-menerus. Hal
ini terjadi karena instansi itu harus berkembang untuk mengantisipasi
perubahan-perubahan di luar instansi tersebut. Untuk itu, kemampuan sumber daya
manusia atau pegawai harus terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan
dan perkembangan instansi (Taryanti, 2010). Hasbullah (2009) menyatakan bahwa “Pendidikan
sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat.” Lebih lanjut Hasbullah (2009)
menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental”.
Dengan tingkat pendidikan yang memadai, seorang
auditor dapat menjalankan profesinya seefektif dan seefisien mungkin. Bagi
auditor, hal ini tentu akan berpengaruh pada kinerja yang dapat diindikasikan
dari jumlah temuan dan kualitas hasil pemeriksaan (Herawati, 2015). Penelitian
Deis dan Giroux (dalam Farkhani, 2004) menunjukkan pendidikan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Beragamnya jenjang pendidikan
(SMA hingga S-3) mencerminkan kemampuan masing-masing anggota tim dalam memberikan
kontribusi pada kinerja tim pemeriksaan secara keseluruhan. Pendidikan akan
berdampak pada kualitas pekerja itu sendiri dan proses produksi yang
dikerjakan. Ini terjadi karena pendidikan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja
secara mendalam bukan hanya fisik belaka. Salah satu usaha nyata dari BPK untuk
meningkatkan tingkat pendidikan pegawainya yaitu dengan mewajibkan semua
auditornya memiliki ijazah Strata-1 (S-1) pada tahun 2016 ini. Berdasarkan
beberapa pengakuan kinerja BPK sebelumnya, sangat aneh jika saat ini publik
justru meragukan kinerja BPK. Hal ini terjadi setelah Gubernur DKI Jakarta
Basuki T. Purnama (Ahok) menilai investigasi yang dilakukan BPK terkait
pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tidak dapat dipercaya.
Pasalnya, hasil audit BPK menyebutkan akibat penggelembungan, kerugian negara
pada proyek ini mencapai Rp 191 miliar (metro.sindonews.com). Alasan lain yang
membuat publik menyoroti kinerja BPK saat ini yaitu terseretnya nama Ketua BPK,
Harry Azhar Aziz dalam skandal dokumen finansial
0 komentar:
Posting Komentar