Selasa, 06 November 2018

Contoh Skripsi Ekonomi (Pengaruh Kompensasi, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, Mutasi, dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia)

Pengaruh Kompensasi, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, Mutasi, dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2009). Kelancaran tugas pekerjaan dan kesuksesan suatu instansi dapat tercapai dengan memuaskan apabila para pelaksana dan pemimpin memiliki motivasi kerja dan kemampuan kerja yang memadai. Hal ini menandakan bahwa faktor Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan unsur penting dan turut menentukan berhasil atau gagalnya sebuah organisasi. Oleh karenanya, instansi akan meraih sukses dan mampu bersaing apabila didukung manajemen dan sumber daya manusia yang berkualitas (Taryanti, 2010).
Salah satu indikator SDM yang berkualitas dapat dilihat dari kinerja pegawai yang ditunjukkan dari perilaku kerja efektif, efisien, produktif, serta memiliki integritas tinggi. Deskripsi dari kinerja itu sendiri menyangkut tiga komponen penting yaitu tujuan, ukuran dan penilaian kinerja. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi, baik itu pemerintah atau swasta merupakan strategi untuk peningkatan kinerja.
Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja pegawai yang diharapkan organisasi terhadap setiap pegawai. Walaupun demikian penentuan tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan ukuran apakah seseorang pegawai telah mencapai kinerja yang diharapkan (Jauhariah, 2014). Untuk menghadapi tantangan dalam era globalisasi saat ini, pemerintah juga melakukan pembenahan, penyempurnaan serta peningkatan kualitas kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik pembenahan dari sisi kelembagaan maupun perilaku aparaturnya sendiri. Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan mempengaruhi kinerja pegawai secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing PNS dalam suatu negara. Salah satu caranya yaitu dengan mewajibkan setiap PNS menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) setiap tahun.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2011 tentang penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil, penilaian kinerja PNS tersebut terdiri dari dua unsur yaitu SKP dan perilaku kerja. SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. Penilaian SKP ini paling sedikit meliputi aspek kuantitas, kualitas, dan waktu sesuai karateristik, sifat, dan jenis kegiatan pada masing – masing unit kerja. Sedangkan perilaku kerja merupakan setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh seorang PNS yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Adapun unsur perilaku kerja meliputi orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga negara yang memiliki ribuan PNS, telah mengimplementasikan sistem penilaian kinerja pegawai tersebut sejak tahun 2014. Setiap tahun para pegawai dievaluasi kinerjanya, tidak hanya pegawai pada bagian fungsional, tetapi juga pada bagian struktural. Diharapkan dengan evaluasi tersebut, kinerja pegawai menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan kinerja BPK secara keseluruhan.
Dikutip dari laman menpan.go.id Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen-PANRB) sejak tahun 2010, secara rutin telah melakukan evaluasi terhadap seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi. Proses evaluasi dilakukan dengan melihat seluruh aspek yang terkait dengan penerapan manajemen kinerja di instansi pemerintah sehingga mampu membangun etos kerja pemerintah yang berorientasi pada hasil yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagai bentuk akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Pada tahun 2015 lalu, ada empat kementerian/lembaga dan dua pemerintah provinsi yang memperoleh predikat memuaskan dengan nilai di atas 80, salah satunya adalah BPK. Hal ini membuktikan bahwa kinerja BPK sebagai sebuah institusi maupun individu pegawai menurut Kemen-PANRB sudah baik, meskipun tetap harus ada perbaikan setiap tahunnya. Hasil audit akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga tahun 2015 selengkapnya dapat dilihat pada 1957 dengan tujuan mempromosikan penggunaan energi nuklir secara damai dan menangkal penggunaannya untuk keperluan militer. Selain itu, BPK juga dipercaya sebagai auditor badan anti korupsi internasional International Anti Corruption Academy (IACA) bersama dengan Austria dan Rusia.
Dimana secara khusus IACA memberikan kepercayaan kepada BPK sebagai ketua tim pemeriksa. Dengan berbagai pengakuan akan kinerja BPK tersebut, kinerja dan kompetensi pegawai yang dimiliki BPK harus sangat diperhatikan. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi BPK akan semakin besar. Salah satu unsur penting dari kompetensi seorang pegawai adalah tingkat pendidikan yang telah diraihnya. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Pendidikan dalam suatu organisasi sebagai upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia adalah suatu siklus yang harus terjadi terus-menerus. Hal ini terjadi karena instansi itu harus berkembang untuk mengantisipasi perubahan-perubahan di luar instansi tersebut. Untuk itu, kemampuan sumber daya manusia atau pegawai harus terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan dan perkembangan instansi (Taryanti, 2010). Hasbullah (2009) menyatakan bahwa “Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat.” Lebih lanjut Hasbullah (2009) menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental”.
Dengan tingkat pendidikan yang memadai, seorang auditor dapat menjalankan profesinya seefektif dan seefisien mungkin. Bagi auditor, hal ini tentu akan berpengaruh pada kinerja yang dapat diindikasikan dari jumlah temuan dan kualitas hasil pemeriksaan (Herawati, 2015). Penelitian Deis dan Giroux (dalam Farkhani, 2004) menunjukkan pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Beragamnya jenjang pendidikan (SMA hingga S-3) mencerminkan kemampuan masing-masing anggota tim dalam memberikan kontribusi pada kinerja tim pemeriksaan secara keseluruhan. Pendidikan akan berdampak pada kualitas pekerja itu sendiri dan proses produksi yang dikerjakan. Ini terjadi karena pendidikan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja secara mendalam bukan hanya fisik belaka. Salah satu usaha nyata dari BPK untuk meningkatkan tingkat pendidikan pegawainya yaitu dengan mewajibkan semua auditornya memiliki ijazah Strata-1 (S-1) pada tahun 2016 ini. Berdasarkan beberapa pengakuan kinerja BPK sebelumnya, sangat aneh jika saat ini publik justru meragukan kinerja BPK. Hal ini terjadi setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama (Ahok) menilai investigasi yang dilakukan BPK terkait pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tidak dapat dipercaya. Pasalnya, hasil audit BPK menyebutkan akibat penggelembungan, kerugian negara pada proyek ini mencapai Rp 191 miliar (metro.sindonews.com). Alasan lain yang membuat publik menyoroti kinerja BPK saat ini yaitu terseretnya nama Ketua BPK, Harry Azhar Aziz dalam skandal dokumen finansial

0 komentar:

Posting Komentar